Home Berita Stigma Bagi Istri Teroris, Korban atau Pelaku?

Stigma Bagi Istri Teroris, Korban atau Pelaku?

5 min read
0
1
1,037
Leebarty Taskarina, Penulis Buku Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan Dalam Kejahatan Terorisme

Swarnainstitute.org. “Indonesia darurat terorisme”. Rentetan peristiwa terorisme di Indonesia membekas selama tahun 2018. 13 Mei 2018 silam, tiga gereja di Surabaya mengalami ledakan bom beruntut pada waktu bersamaan yang menewaskan 13 orang. Ledakan bom juga disusul pada malamnya di Rusunawa, Sidoarjo, yang diketahui pelaku dari kedua kejadian tersebut memiliki hubungan keluarga. Pelaku, seorang suami dari istri dan ayah bagi anak-anaknya kerap melibatkan anggota keluarganya untuk melancarkan aksi teror agar tidak terdeteksi aparat keamanan. Istri teroris agaknya memiliki peran besar dalam menjalankan aksi teror.

Keterlibatan perempuan dalam melakukan tindak kejahatan terorisme rupanya bukan hal yang baru di muka umum. Dian Yulia Novi, perempuan asal Cirebon yang divonis 7,5 tahun penjara melakukan rencana serangan bom bunuh diri di Istana Negara pada 11 Desember 2016. Walaupun perempuan merupakan istri dari seorang teroris, apakah label “teroris” dapat disandingkan bagi mereka?. Apakah keterlibatan perempuan murni atas dirinya sendiri untuk melakukan kejahatan terorisme?. Dan apakah mereka seorang Korban atau Teroris?. Fenomena ini menjadi dasar pemikiran Leebarty Taskarina, Analis Data Intelijen, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mengkaji keterlibatan perempuan, istri tindak kejahatan terorisme, dalam bukunya yang berjudul “Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme”.

Leebarty menjelaskan, diskriminasi dan stigmatisasi bagi istri teroris semakin berkembang akibat stereotipe dari lingkungan dan media sosial. Ia juga mengatakan perempuan secara tidak sadar telah terjerumus dalam jurang terorisme.

“perempuan sering mendapat stigma sebagai istri buronan, DPO terorisme dan hanya mematuhi perintah suami yang akhirnya mendapat dampak dari suami”. Ujarnya saat Peluncuran dan Bedah Bukunya di Gramedia Matraman, (12/1).

Perlakuan diskriminatif yang dialami istri seorang teroris menimbulkan potensi untuk menjadi pelaku disebabkan tidak adanya ruang bagi perempuan korban dari kejahatan terorisme untuk berbaur dengan lingkungan yang lebih positif.

“Kalau kita makin diskriminasi sama mereka (istri teroris), mereka berpikir ‘oh, saya ga ada tempat di masyarakat ini terus buat apa saya berdamai dengan masyarakat’“, tambahnya

Pengaruh agama terhadap terorisme dalam konsep sami’na wa-atha’na yang disampaikan Musdah Mulia tidak diterapkan berdasarkan pemahaman murni oleh sepasang suami istri terorisme dan akhirnya menyimpang dari ajaran keagamaan itu sendiri.

“kepatuhan yang diajarkan keliru, konsep sami’na wa-atha’na hanya dilakukan kepada Allah SWT. Refleksi dari ketaatan suami kepada Allah itu dia tidak membohongi istri, tidak selingkuh, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama”, ujarnya sebagai narasumber Bedah Buku karya Leebarty Taskarina.

Direktur Mulia Foundation tersebut juga mengatakan perempuan memiliki potensi untuk menjadi agen perdamaian. Baginya, sifat naluriah perempuan pada dasarnya bertentangan dengan ajaran-ajaran radikalisme dan terorisme.

“Jika perempuan bisa ditarik menjadi orang yang tunduk pada ideologi teroris, saya lebih percaya bahwa perempuan bisa diajak sebagai peace maker. Sikap-sikap positif yang ada di dalam diri perempuan sebenarnya lebih memungkinkan menjadi perempuan sebagai peace maker daripada troublemaker”, pungkasnya”.

 

Penulis: Fauziah Rivanda

Load More Related Articles
Load More By swarna
Load More In Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Bupati Sumedang Melantik Penilik PAUD dan 154 Kepsek SD/SMP

Pengangkatan Sumpah dari para guru kepada Bupati Sumedang, Dony Ahmad Munir Swarna Institu…