Berita HAM Polemik RUU P-KS, Inayah Wahid: Korban Butuh Payung Hukum By swarna Posted on February 14, 2019 3 min read 0 0 975 Share on Facebook Share on Twitter Share on Google+ Share on Reddit Share on Pinterest Share on Linkedin Share on Tumblr Inayah Wulandari atau dikenal Inayah Wahid Mendesak Pemerintah Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual SwarnaInsitute.org. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) riuh akan polemik dari berbagai pihak. Tak sedikit pihak yang mendukung RUU P-KS ini agar segera disahkan, namun diiringi upaya penolakan terhadap RUU P-KS yang menuai konflik dari beberapa anggota DPR RI. Polemik berawal dari seruan petisi provokatif yang beredar pada 27 Januari 2019 lalu disusul penolakan pengesahan RUU dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pro zina dan LGBT. Tuduhan atas tafsiran RUU P-KS dari berbagai pihak yang dianggap “melanggengkan seks” di kecam oleh lembaga Pro- RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan aktivis penggerak keberagaman, Inayah Wahid. Jaringan Kerja Program Pro Perempuan (JKP3) dalam jumpa pers “Melawan Hoax RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” mengecam keras penyebaran hoax, berita bohong, dan disinformasi yang berkaitan dengan RUU P-KS yang beredar di masyarakat. Petisi yang berjudul “Tolak RUU Pro Zina” , mencerminkan tindakan tidak bertanggungjawab serta melukai perjuangan korban, menciderai para penyintas dan menihilkan kerja pendamping korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan melalui RUU P-KS, yang pada dasarnya RUU P-KS lahir dari pengalaman korban kekerasan seksual. “RUU P-KS lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapatkan keadilan dan pemulihan, karena belum ada payung hukumnya.” kata Ratna Batar Munti, Koordinator JKP3 dalam konferensi pers di LBH Jakarta (6 Januari 2019). Hal ini juga mendapat tanggapan dari Inayah Wahid, putri bungsu alm. KH. Abdurahman Wahid yang mengatakan RUU P-KS menjadi regulasi para korban kekerasan seksual baik kekerasan fisik maupun verbal guna mendapatkan perlindungan serta payung hukum yang dibutuhkan para korban. “’kita putus ya. Atau aku sudah tidak sayang dengan kamu’, kalimat ini sering juga bagian dari kekerasan yang tidak hanya pemerkosaan (secara fisik) namun ancaman-ancaman kekerasan (verbal) yang sering muncul, apalagi saat berpacaran, juga menjadi pressure bagi korban. Karena RUU P-KS adalah kebutuhan bagi korban demi mendapatkan payung hukum yang adil”. (ziah)